Pahlawan Nasional Perempuan dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
Pahlawan Nasional Perempuan dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
Oleh: Rahman Abdullah
(Jakarta: 08 Desember 2021)
Dalam
sejarah, Indonesia adalah sebuah negara yang lahir dari semangat juang dan
pengorbanan para pahlawan yang telah memberikan jiwa serta raganya untuk memerdekaan
dan membawa bangsanya, yaitu bangsa Indonesia terbebas dari belenggu
pihak-pihak imperialis dan kolonialis yang seenaknya mengambil sumber daya alam
dan menindas para penduduknya.
Kemerdekaan
adalah sesuatu yang diidam-idamkan oleh setiap orang yang mempunyai jiwa
patriot dalam dadanya. Tidak jarang, untuk mendapatkan kemerdekaan itu harus
dilalui dengan melakukan pertempuran melawan musuh secara fisik dan
mengakibatkan timbulnya banyak korban jiwa.
Selama ini
kita sering mendengar dan banyak membahas bahwa perang kemerdekaan itu
dilakukan oleh para pejuang laki-laki saja. Namun pada sejarahnya, para pejuang
perempuanpun banyak yang ikut andil dalam kontak fisik, berupa pertempuran dan
peperangan melawan para penjajah. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menjabarkan kisah beberapa pejuang perempuan yang terjun langsung dalam
peperangan melawan para penjajah. Dan bahkan para tokoh pejuang perempuan
tersebut diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Indonesia. Adapun para pejuang
perempuan yang terjun langsung dalam perang kemerdekaan dan mendapatkan gelar
pahlawan nasional diantaranya ialah:
1. Malahayati (Laksamana Malahayati)
Malahayati merupakan seorang perempuan pejuang yang berasal dari Aceh,
yang lahir pada tahun 1550 M di Kesultanan Aceh Darussalam. Malahayati memiliki
ayah seorang laksamana, yaitu Laksamana Mahmud Syah yang masih keturunan dari
pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah
(1513-1530 M).
Malahayati atau lebih dikenal dengan Laksamana Malahayati memiliki garis
keturunan dari ayah dan kakek yang menjadi panglima angkatan laut Kesultanan
Aceh. Dari sanalah semangat dan kemahiran sebagai perwira laut tumbuh, dan hal
tersebut mengantarkannya untuk belajar di akademi angkatan laut Kesultanan
Aceh.
Awal perjuangan Laksamana Malahayati dimulai setelah berlangsungnya
pertempuran antara armada laut Aceh melawan armada laut Portugis di Teluk Haru.
Pada pertempuran tersebut Laksamana Zainal Abidin yang merupakan suami dari
Malahayati gugur dalam pertempuran tersebut.
Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, Malahayati mengusulkan
pembentukan pasukan Inong Bale kepada Sultan Aceh, yang personelnya terdiri
dari janda-janda dari prajurit Aceh yang telah gugur dalam pertempuran, dan
usulan tersebut dikabulkan oleh sultan, lalu kemudian Malahayati diangkat
menjadi pemimpin pasukan tersebut dengan pangkat Laksamana.
Pada tanggal 21 Juni 1599 M, Laksamana Malahayati dan pasukannya
terlibat pertempuran dengan armada laut Belanda yang memaksa masuk ke wilayah
Kesultanan Aceh. Dalam pertempuran tersebut pemimpin dari armada laut Belanda
yaitu Cornelis de Houtman dan sejumlah pelaut Belanda tewas terbunuh, serta
wakil pemimpin armada laut Belanda dan sisa pasukannya berhasil ditangkap oleh
Laksamana Malahayati.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1615 M Laksamana Malahayati
gugur ketika dalam pertempuran melawan Portugis pimpinan Alfonso de Castro di
Teluk Krueng Raya. Kemudian Laksamana Malahayati dimakamkan di Desa Lamreh
Kecamatan Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar.[1]
Penyematan gelar pahlawan nasional pada Laksamana Malahayati oleh pemerintah
Indonesia dilaksanakan pada tanggal 9 November 2017. Kemudian untuk menghormati
jasa-jasanya dalam pertempuran-pertempuran laut dalam melawan penjajah, namanya
juga dijadikan sebagai salah satu nama Kapal Republik Indonesia yaitu KRI Malahayati,
yang merupakan salah satu unit kapal perang jenis fregat milik TNI AL.
2. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1752 di daerah Serang Jawa
Tengah, beliau terlahir dengan nama asli Raden Ajeng (RA) Kustiyah Wulaningsih
Retno Edhi. Nyi Ageng Serang merupakan putri dari seorang bangsawan Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Pangeran Natapraja yang merupakan seorang
penguasa daerah Serang, Jawa Tengah yang sekaligus memiliki jabatan sebagai Panglima
Perang dalam pememrintahan Sultan Hamengkeu Buwono I.
Dari garis keturunan, Nyi Ageng juga merupakan salah satu keturunan dari
salah satu Wali Sanga yaitu Sunan Kalijaga. Tidak seperti puteri-puteri
bangsawan lainnya yang memegang adat yang masih kuat, Nyi Ageng Serang lebih
menunjukkan minatnya kepada dunia keprajuritan seperti halnya beliau merupakan
seorang wanita yang sering mengikuti latihan-latihan kemiliteran dan pembahasan
strategi-strategi peperangan dengan para prajurit laki-laki. Keberminatan
beliau kepada medan pertempuran ditunjukkan dengan sering ikut serta bersama ayahnya
terjun langsung berperang melawan penjajah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Nyi
Ageng Serang kemudian diangkat menjadi penguasa di daerang Serang.
Dalam waktu kepemimpinannya di daerah Serang tersebut, kondisi
masyarakat saat itu sedang mengalami kesengsaraan, kelaparan dan sulitnya
mendapatkan makanan terjadi di mana-mana. Terjadinya masa sulit tersebut
diakibatkan oleh ulah para penjajah yang berbuat sewenang-wenang terhadap
rakyat. Dengan adanya hal tersebut, Nyi Ageng Serang turun tangan langsung
memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Pada usia 73 tahun Nyi Ageng Serang bersama pasukannya turut ikut serta
dalam Perang Diponegoro yang terjadi mulain pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang
bersama pasukannya turut ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro dan menantunya
Raden Mas Papak. Karena usia senjanya tersebut Nyi Ageng memimpin pasukannya
dari atas tandu. Kemudian, setelah tiga tahun terjun
langsung dalam pertempuran bersama Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng
Serang mundur dari medan
laga. Raden
Mas Papak kemudian bertugas memimpin pasukan dan meneruskan perjuangannya.
Dan pada tahun 1828 dalam usia 76 tahun di daerah Serang, Nyi Ageng Serang wafat sebagai perempuan tangguh yang mempunyai semangat
membebaskan rakyatnya dari cengkraman penjajah. Atas jasa-jasanya terhadap Negara yang amat besar tersebut, berdasarkan SK Presiden RI No.084/TK/1974 Nyi Ageng Serang dianugerahi gelar
sebagai
pahlawan nasional yang
memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.[2]
3.
Martha Christina Tiahahu
Martha
Christina Tiahahu adalah seorang wanita tangguh yang berjuang melawan
penjajahan Belanda. Martha Christina Tiahahu lahir di Maluku pada tanggal 4
Januari 1800. Ia merupakan seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut.
Martha menjadi anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu. Di usianya yang
saat itu masih 17 tahun, Martha menjadi salah satu pemimpin tentara rakyat
Maluku. Martha sempat turun berperang dalam pertempuran melawan Belanda
di Pulau Saparua, tepatnya di Desa Ouw, Ullath.
Dalam perjuangannya, Martha tidak
hanya mengangkat senjata, ia juga memberikan semangat kepada kaum wanita agar
turut membantu kaum pria di medan pertempuran. Penyebab terjadinya perlawanan
di Saparua didasari oleh adanya tindakan monopoli perdagangan rempah-rempah
yang dilakukan Belanda melalui di Maluku. Kemudian, muncul kesengsaraan
di tengah-tengah masyarakat. Saat perlawanan terjadi, sebagian pasukan rakyat
bersama para raja dan patih bergerak ke Saparua untuk membantu Kapiten
Pattimura. Bantuan tersebut membuat Belanda yang akan mengambil alih Benteng
Beverwijk luput dari perhatian. Pada 10 Oktober 1817, dan Benteng
Beverwijk dapat dikuasai oleh Belanda. Sementara itu, pertempuran di Saparua
masih terus bergejolak. Dikarena persediaan peluru semakin menipis, pasukan
pejuang mundur ke daerah pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan tersebut ada
Martha beserta pasukannya
Selanjutnya pada 12 Oktober 1817, Belanda
melakukan serangan umum terhadap pasukan rakyat. Ketika pasukan rakyat
menyerang kembali menggunakan lemparan batu, Belanda menyadari bahwa persediaan
peluru mereka sudah habis, sehingga
Belanda dengan leluasanya melakukan penyerangan kepada para pejuang. Dan pada
akhirnya, Martha dan sang ayah tertangkap dan dibawa ke Kapal Eversten. Di
dalam kapal inilah para tawanan bertmu dengan Kapitan Pattimura. Para
tawanan pun diinterogasi oleh penjajah Belanda, dan dijatuhi hukuman. Namun,
Martha yang masih berusia sangat muda dibebaskan oleh Buyskes, seorang birokrat
Belanda. Namun sang ayah dijatuhi hukuman mati.
Pada 16 Oktober 1817, Martha beserta sang ayah
dibawa ke Nusalaut. Mereka ditahan di Benteng Beverwijk sambil menunggu
pelaksanaa hukuman mati untuk ayahnya. Setelah ayahnya dieksekusi, kondisi
kesehatan Martha mulai terganggu. Selanjutnya Martha beserta ke-39 orang yang
menjadi tawanan Belanda akan dibawa dengan Kapal Eversten menuju Pulau
Jawa. Martha beserta rekan-rekannya dibawa untuk dijadikan pekerja secara
paksa di perkebunan kopi milik Belanda di Jawa. Selama dalam perjalanan di atas
kapal ini kondisi kesehatan Martha kian memburuk. Ia kehilangan nafsu makan dan
tidak ingin diobati. Dan pada akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818 Martha
Chritina Tiahahu wafat sebagai pejuang kemerdekaan wanita dari tanah Maluku.
Dan pemerintah Indonesia melalui Surat Kepres Indonesia Nomor 012/TK/Tahun1969
menganugerahi Martha dengan gelar Pahlawan Nasional.[3]
4.
Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang,
Aceh, pada 1850, ia merupakan puteri dari bangsawan Kesultanan Aceh. Cut Nyak
Dien merupakan anak dari Teuku Nanta Satia dan ibunya yang keturunan bangsawan.
Kakaknya bernama Teuku Rayut. Ketika usianya menginjak 12 tahun, Cut Nyak Dien
menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, yang juga berasal dari keluarga
bangsawan.
Sejak Belanda menyerang Aceh untuk
pertama kalinya pada tanggal 26 Maret 1873, Cut Nyak Dien sangat bersemangat
untuk mengobarkan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Semangat tersebut
semakin menjadi saat suaminya gugur dalam peperangan melawan Belanda. Dalam
perkembangan selanjutnya, Ia kemudian menikah lagi dengan Teuku Umar di tahun
1880. Bersama dengan Teuku Umar inilan dan para pejuang Aceh lainnya, Cut Nyak
Dien semakin rajin melakukan serangan kepada pasukan Belanda.
Bersatunya kedua pejuang ini telah
menciptakan lonjakan semangat bagi para pejuang Aceh. Sehingga tercetuslah
perang fi sabilillah dalam melawan Belanda. Teuku Umar mempunyai
strategi untuk mendekati Belanda dengan penyerahan diri Teuku Umar beserta
pasukannya yang berjumlah 250 orang. Strategi tersebut digunakan oleh Teuku
Umar untuk memperkuat pasukannya dengan perlengkapan yang diambil dari pihak
Belanda. Kemudian Teuku Umar dan Cut Nyak Dien beserta pasukannya yang telah dilengkapi
dengan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda tersebut pergi untuk
melawan Belanda kembali. Atas kejadian tersebut pihak Belanda menjadi murka dan
semakin meningkatkan operasi militer untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak
Dien.
Belanda akhirnya berhasil
menyingkirkan Teuku Umar. Teuku Umar wafat sebagai pejuang pada tanggal 11
Februari 1899. Walaupun kehilangan suami tercinta, Cut Nyak Dien tetap tegar
dan terus melakukan perlawanan. Dirinya tetap memimpin perlawanan terhadap
Belanda di daerah pedalaman Meulaboh dengan pasukan kecilnya. Disaat usianya
yang sudah sepuh dan penyakit mulai menimpa dirinya Cut Nyak Dien mulai
kesulitan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Cut Nyak Dien terus
bertempur hingga kalah pada tahun 1901, karena tentara Belanda sudah sangat
terbiasa untuk berperang di daerah Aceh.
Setelah perlawanan yang begitu
menguras energi, pada akhirnya Cut Nyak Dien tertangkap oleh Belanda dan dibwa
ke Banda Aceh. Saat itu Belanda berjanji tidak akan embuang Cut Nyak Dien ke
daerah jauh, namun pada kenyataannya Cut Nyak Dien diasingkan ke daerah
Sumedang, Jawa Barat dan meninggal pada 6 November 1908 di pengasigan.
Atas jasa-jasa dan pengorbanan jiwa
raganya dalam melawan penjajah Belanda dalam rangka memerdekakan bangsa, maka
pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno pada tanggal 2 Mei 1964
mengangkat Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK
Presiden RI No.106 Tahun 1964.[4]
5.
Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia lahir pada tahun
1870 di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara. Sama halnya dengan para pejuang dari Tanah
Rencong lainnya seperti Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, dan tokoh
pejuang Aceh lainnya, Cut Nyak Meutia dikenal sebagai sosok perempuan pemberani
dan mempunyai semangat juang yang tinggi dalam berjuang melawan penjajah
Belanda.
Cut Nyak Meutia melawan Belanda
bersama suaminya Teuku Muhammad atau lebih dikenal sebagai Teuku Cik Tunong.
Mereka bersama-samaberjuang melawan penjajah, namun pada akhirnya Teuku Cik
Tunong ditangkap oleh pihak Belanda pada bulan Maret tahun 1905. Dan kemudian
dijatuhi hukuman mati oleh Belanda di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum
meninggal, suami Cut Nyak Meutia tersebut berpesan pada sahabatnya Pang Nagroe
agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya sepeninggal dirinya kelak.
Sesuai dengan wasiat tersebut, Cut
Nyak Meutia pun menikah dengan Pang Nagroe lalu bergabung bersama pasukan
pimpinan Teuku Muda Gantoe. Dalam suatu pertempuran melawan Korps Marechausée
di Paya Cicem, pada tanggal 26 September 1910 Pang Nagroe gugur dalam
pertempuran, sedangkan Cut Nyak Meutia berhasil selamat. Ia bersama para wanita
lainnya yang masih selamat kemudian pergi menghindar ke dalam hutan.
Sepeninggal suaminya tesebut,
perlawanan Cut Nyak Meutia masih terus berlanjut. Pasukannya berusaha menyerang
dan merampas pos-pos kolonial sepanjang perjalanan mereka ke Gayo melewati
hutan belantara. Namun, pada tanggal 24 Oktober 1910 Cut Nyak meutia gugur
dalam sebuah pertempuran di Alue Kurieng. Berkat jasa-jasanya tersebut, pada
tahun 1964 Pemerintah Indonesia menganugerahi Cut Nyak Meutia dengan gelar
Pahlawan Nasional.
Demikianlah sejarah pahlawan
nasional perempuan yang terjun langsung dalam medan pertempuran melawan para
penjajah yang telah membuat sengsara rakyat nusantara Indonesia. Dari
kisah-kisah perjuangan tersebut kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang
begitu besar yaitu salah satunya bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai
ibu rumah tangga saja yang mengurus keluarga, namun seorang perempuan juga
dapat menjadi patriot-patriot tangguh yang siap membela dan mengorbanka jiwa
raganya dalam rangka menjaga kehormatan bangsa dan negaranya.
[1] Megapolitan, Kompas, 24 November 2021, Profil
Malahayati, Laksamana Perempuan Pertama yang Diabadikan, KOMPAS.com,
Diakses pada tanggal 08 Desember 2021 Pukul: 13:30
WIB.
[2] Merdeka
Profil, Profil Nyi Ageng Serang, Merdeka.com, Diakses pada tanggal 08
Desember 2021 Pukul: 14:55 WIB.
[3] Kompas, 28 Mei
2021, Martha Christina Tiahahu: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup, KOMPAS.com,
Diakses pada tanggal 08 Desember 2021 Pukul: 15:46 WIB.
[4] Merdeka, 6
November 2021, Sejarah 6 November 1908: Meninggalnya Pejuang Wanita
Indonesia, Cut Nyak Dien, Merdeka.com, Diakses pada tanggal 08 Desember
2021 Pukul: 16:51 WIB.
Tidak ada komentar untuk "Pahlawan Nasional Perempuan dalam Perang Kemerdekaan Indonesia"
Posting Komentar