Perkembangan Sikap Keagamaan Manusia
PERKEMBANGAN SIKAP KEAGAMAAN
MANUSIA
Oleh: Rahman Abdullah
Psikologi Pendidikan Islam Pascasrjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon
A. Pendahuluan
Dalam struktur manusia, Tuhan telah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang di dalamnya memiliki kecenderungan untuk berkembang. Psikologi menyebut dasar tersebut sebagai “potensialitas” yang menurut salah satu aliran psikologi disebut sebagai prepotence replexes atau kemampuan dasar yang dapat berkembang.[1]
Insting beragama (garizatu at-tadayyun) sendiri didefinisikan sebagai insting bawaan sebagai karakter inheren penciptaan yang permanen.[2] Dalam hal ini, manusia sendiri dikatakan sebagai objek material sekaligus objek formal kajian ilmu psikologi. Maka, kita memerlukan pemahaman yang integral mengenai bagaimana perasaan, motivasi, sikap dan perasaan seseorang untuk beragama dan dalam perkembangannya. Apalagi jika ditambah dengan penekanan bahwa agama memberikan sebuah kerangka moral, yang membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya.[3]
Salah satu aspek perkembangan yang penting peranannya dalam kehidupan manusia adalah perkembangan keberagamaannya. Ketika kesadaran keagamaan sudah menjadi kebutuhan maka ini merupakan implementasi dari suci dari dimensi fitrah. Bentuk kebutuhan kepada agama dalam hal ini dapat diartikan sebagai salah satu tugas manusia. Hampir seluruh ahli psikologi berpendapat kebutuhan manusia bukan hanya terbatas pada kebutuhan fisik belaka, namun manusia juga lebih dari itu memiliki kecenderungan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat universal, kebutuhan yang bersifat kodrati yaitu kebutuhan akan keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh Tuhan.[4]
Seseorang yang memiliki perasaan keberagamaan pada dirinya maka seharusnya memilki tingkah laku dan sikap yang selalu mencerminkan hal-hal yang positif. Namun setiap orang tentunya memiliki sikap dan tingkah laku yang berbeda dan tentunya memilki kesadaran keberagamaan yang berbeda-beda.
Frederiek Schleimacher dalam buku psikologi agama yang ditulis oleh Ramayulis, berpendapat bahwa sumber dari keberagamaan seseorang itu berasal dari rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa tersebut maka manusia merasakan dirinya lemah dan manusia perlu untuk mendapatkan perlindungan dari suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa tersebut maka timbullah konsep tentang Tuhan. Perkembangan keberagamaan manusia dimulai sejak masa anak-anak hingga dewasa dan pada setiap fase perkembangannya memilki sikap yang berbeda dalam keberagamaannya.[5]
B. Perkembangan Sikap Keagamaan pada Masa Anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak itu mengikuti pola “ ideas concept on authority” yaitu konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar diri mereka. Pemikiran anak tentang Tuhan pada mulanya dibentuk dalam gambaran orang tua. Konsep dan ide pada pada masa anak belum terpikirkan secara matang tetapi lebih merupakan peniruan. Hal tersebut diperoleh atas dasar hubungan dengan orang-orang yang berpengaruh pada diri anak tersebut.[6] Berdasarkan hal tersebut ada beberapa ciri keagamaan yang melakat pada diri anak-anak yaitu:
1. Orientasi Egosentris
Seorang anak mempunyai kesadaran terhadap dirinya sejak awal masa pertumbuhannya, semakin tumbuh berkembang maka akan semakin menampakan rasa egoisnya terhadap sesuatu tak terkecuali tentang keagamaan. Dalam artian hal keagamaan pada diri anak lebih memunculkan kepentingan pribadinya dalam menyikapi keagamaan. Sebagai contoh anak ketika berdoa akan cenderung meminta sesuatu yang menjadi keinginannya sendiri, apa yang ia inginkan apa yang dia mau seperti berdoa ingin mendapatkan mainan, permen dan lain-lain.[7]
2. Antropomorfis Concreteness
Salah satu ciri dari keberagamaan anak-anak adalah adanya istilah antropomorphic concreteness, di mana perkataan dan gambaran keagamaan diterjemahkan ke dalam pengalaman-pengalaman yang sudah dialami dan dalam bentuk orang-orang yang sudah dikenal. Pengertian Tuhan memberi pahala dan hukuman dipahami oleh anak seperti orang tua yang memberi hadiah dan hukuman kepada mereka. Orang tua lebih memberi isi dan arti teologis pada perilaku keagamaan anak, meskipun isi dan arti teologis yang sesungguhnya belum banyak terpancar pada tingkah laku keagamaan anak.[8]
3. Eksperimen, inisiatif & Spontanitas
Anak ketika mulai mengenal dunia luara akan mengeksplor dan bermain mengenal dunia. Ketika anak sudah berani keluar rumah dan berinteraksi dengan lingkungan tetangga dan sekitarnya. Pada masa anak ini suatu hal yang berbau fantasi adalah sesuatu yang lumrah yang mana fantasi dan emosi adalah acuan dalam berkreatifitas. Seperti halnya ketika anak diberikan cerita mengenai bahwa Tuhan itu ada di langit maka si anak ketika mengingat Tuhan atau ketika mengadah ke atas langit seolah-olah dia ingin melihat Tuhan. Hal tersebut sekilas sederhana dilakukan oleh seorang anak, namun demikian yang seperti itu mengandung unsur emosional, spontanitas dan penuh makna keagamaan.[9]
4. Tanpa Kritik
Anak memahami agamasebagai suatu yang diterima tanpa adanya pemahaman yang mendalam dan cenderung apa adanya serta sederhana dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan-keterangan yang terkadang kurang masuk akal ini diakibatkan masih sederhananya pemikiran yang anak-anak miliki terhadap sesuatu.[10]
5. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan keagamaan pad anak-anak itu sebagian besar pada awalnya berbentuk verbal atau ucapan. Anak menghafal kata atau kalimat keagamaan dengan baik. Kegiatan ibadah keagamaan mereka berdasarkan apa yang telah diajarkan kepada mereka dan sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Pengulangan kegiatan yang bersifat praktek dan verbalis adalah sesuatu yang penting dan merupakan dan merupakan salah satu ciri keagamaan pad anak-anak.[11]
6. Imitatif
Ciri ini adalah menggambarkan seorang anak adalah peniru yang handal terhadap tingkah laku orang lain, termasuk dalam ranah keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari seorang anak dapat mengerjakan suatu kegiatan keagamaan karena sebelumnya seorang anak tersebut melihat orang lain beribadah, maka terkadang seorang anak itu kan melakukan ibadah seperti solat milasnya karena dalam rangka meniru solat yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang lain. Munculnya sifat meniru ini tentunya menuntut adanya model yang menjadi bahan tiruan, maka orang tua terutama dalam mendidik agama kepada anaknya senan tiasa menjadi model yang baik dan dapat menjadi teladan bagi anaknya.[12]
7. Numinous
Adalah rasa kagum terhadap sesuatu, kagum merupakan tanda atau ciri keagamaan pada anak. Lain hal dengan rasa kagum sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, anak-anak memilki rasa kagum tanpa adanya kritik dan belum bersifat kreatif. Mereka hanya kagum terhadap yang konkrit saja, dan hal ini merupakanlangkah awal dari terwujudnya kebutuhan anak untuk mengenal hal baru. Rasa kagum mereka bisa disalurkan melalui kisah-kisah yang dapat menimbulkan rasa takjub pada diri mereka.[13]
C. Perkembangan Sikap Keagamaan pada Masa Remaja
Masa remaja biasanya dianggap ketika anak bisa dikatakan menjadi matang secara seksual dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Masa remaja merupakan masa peralihan yang dialami seorang anak menuju masa kedewasaannya. Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan dalam sikap dan pola perilaku anak.[14]
Adanya perbedaan antara sikap keagamaan antara anak dan remaja dikarenakan adanya pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaan. Perkembangan kejiwaan agama yang muncul pada diri remaja dikarenakan adanya pengaruh perkembangan diri dan dapat dilihat dari tingkah laku keagamaan yang dapat dilihat dari sikap keagamaan seperti berikut:
1. Percaya Tanpa Kesadaran Diri
Banyak remaja yang taat dalam beragama karena pendidikan dan lingkungannya kuat akan kegiatan keagamaan. Ketika ada orang lain yang melaksanakan kegiatan keagamaan maka ia akan ikut serta dalam kegiatan tersebut dan sekedar untuk mengikuti kebiasaan tempat ia tinggal. Percaya yang seperti ini juga sering disebutkan sebagai ikut-ikutan ini biasanya didapatkan dari pendidikan agama yang diajarkan secara sederhana yang didapat dari lingkungan terdekatnya, seperti keluarga. Walaupun demikian hal ini biasanya hanya terjadi pada masa-masa remaja awal dan dengan perjalanan waktu remaja akan lebih kritis dan memiliki kesadaran terhadap keagamaan.[15]
2. Percaya Secara Sadar
Masa remaja identik dengan masa-masa mencari jati diri dan seiring berjalannya waktu remaja akan memilki kesadaran mengenai apa sebetulnya yang harus ia perbuat dalam hal ini sikap keagamaan. Semangat keagamaan pada remaja di awali dengan melihat kembali permasalahan-permasalahan keagamaannya yang ia miliki sewaktu kecil. Mereka melihat agama dengan pandangan yang kritis dan mereka cenderung akan merasa bebas dan kadang memberontak terhadap kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Karena itu sering mereka melontarkan pendapat terhadap kebiasaan yang mereka anggap sudah tidak relevan dengan masa sekarang.[16]
3. Bimbang
Bimbang di sini diatikan sebagai sikap ragu-ragu dalam keagamaannya. Menurut Zakiah Darajat dalam buku psikologi agama karya Ramayulis menerangkan bahwa kebimbangan tersebut berasal dari adanya dua faktor penting yaitu keadaan kejiwaan orang tersebut dan keadaan lingkungan sosial budayanya. Kebimbangan tersebut dimungkinkan karena adanya keadaan sosial kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, adanya kekacauan, kemerosotan moral tingkat kejahatan, penderitaan dan kebingungan yang tak bisa di dapatkan solusinya. Bagi remaja adanya keraguan ini bisa menyebakan seorang remaja tersebut tidak taat dalam melaksanakan perintah agamanya. Apabila keraguan ini dapat diatasi dengan cara positif maka remaja akan memilki kesadaran dalam melaksanakan kegiatan jkeagamaannya, namun sebaliknya jika remaja tersebut tidak menemukan jalan keluar terhadap keraguannya maka akan mengakibatkan sifat malas terhadap keagamaan dan cenderung tidak ingin melakukan aktivitas keagamaan.[17]
Dasar keyakinan dan ide agama yang diperoleh remaja pada masa ketika anak-anak, sudah tidak begitu menarik lagi bagi mereka. Remaja mulai memiliki sifat kritis terhadap ajaran agama, selain itu mereka juga mulai teratarik pada masalah-masalah lain seperti sosial, kebudayaan, ekonomi dan lainnya di samping masalah agama. Remaja yang ketika masa anak-anaknya mendapatkan ajaran agama yang bersifat konservatif maka ketika remaja akan cenderung taat pula dalam keagamaannya, demikian juga sebaliknya.[18]
Sikap kritis pada diri remaja menimbulkan rasa keraguan terhadap agama, namun menurut Wagner keraguan tersebut bukan berarti menginkari terhadap agama, tetapi lebih kepada rasa kecewa kepada keadaan dan persoalan hidup yang dialaminya. Wagner berkata:
“Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri”.[19]
Pada umumnya remaja yang memilki kesadaran pada keagamaan itu kebanyakan tergantung pada kebiasaan pada masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhinya. Oleh karena itu apabila ketika kecil mendapatkan perhatian yang lebih terhadap masalah keagamaan, maka ini sangat berperan terhadap perkembangan keagamaan pada masa remajanya.[20]
D. Perkembangan Sikap Keagamaan pada Masa Dewasa
Akhir masa remaja ditandai dengan masa adolesen, pada masa ini seseorang mulai menginjak dewasa dan memiliki sikap yang pada umumnya seperti menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya, menggariskan jalan hidupnya, bertanggung jawab dalam kehidupan. Sikap yang demikian itu adalah yang mengawali masa dewasa pada diri seseorang.[21]
Perkembangan keagamaan seseorang pada masa ini berdasarkan tanggung jawab keagamaan yang di pegangnya, ia yakini secara mendalam, dan ia jadikan sebagai jalan hidup. Hal tersebut karena pada masa dewasa ini sudah munculnya kestabilan dalam tingkah laku keagamannya, yang mana perbuatan dan tingkah laku keagamaannya selalu dipertimbangkan secara matang dengan penuh rasa tanggung jawab. Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambaran mengenai bagaimana sikap dan tingkah laku keagamaan pada orang dewasa. Atas dasar ini sering didapati sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang di fase dewasa sulit untuk diubah, kalaupun terjadi perubahan, maka itu sudah dipertimbangkan secara matang dan berkesungguhan.[22]
Tingkah laku keagamaan pada masa dewasa ini memiliki perspektif yang luas dan didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Kemudian, tingkah laku tersebut pada umumnya diawali oleh pendalaman pemahaman dan keluasan pengertian tentang agama yang diimaninya. Beragama untuk orang dewasa adalah bagian komitmen dalam hidup.[23]
E. Perkembangan Keagamaan Dewasa Lanjut
Dalam perkembangan keberagamaan di fase dewasa, seseorang telah menunjukan kematangan jasmani dan rohaninya, sudah memiliki keyakinan yang kuat dan pendirian yang tetap serta perasaan sosial yang sudah berkembang. Pada fase dewasa usia lanjut, kesadaran keberagamaan seseorang cenderung lebih menerima kepada agama itu sendiri dan lebih matang dalam bertindak. Maka disini pentingnya akan kesadaran perkembangan keberagamaan seseorang. [24]
1. Perasaan Beragama pada Fase Dewasa Lanjut
Usia lanjut atau usia tua adalah periode penutup pada rentang hidup seseorang. Usia enam puluhan sering dipandang sebagai garis pemisah antara usia madya dengan usia lanjut. Tahap akhir dalam rentang kehidupan sering dibagi dalam usia lanjut dini yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh, dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai datangnya kematian. Orang yang dalam usia enampuluhan sering digolongkan sebagai usia tua, yang berarti antara sedikit lebih tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka mencapai usia tujuh puluh, yang berarti makin lanjut usia seseorang dalam periode hidupnya dan telah kehilangan kejayaan masa mudanya.[25]
Tarap akhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia 60 sampai 70, dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir dari kehidupan seseorang. Orang dalam usia enampuluhan sering digolongkan sebagai usia tua yang berarti antara lebih sedikit tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka mencapai usia tujuh puluh yang menurut standar beberapa amus berarti makin lanjut usia seseorang dalam periode hidupnya dan telah kehilangan kejayaan masa mudanya.[26]
Sebagian tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Orangtua diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan menurunnya kesehatan secara bertahap, hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan di dalam maupun di luar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu ketika mereka masih muda.
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap. Pemunduran itu sebagian datang dari faktor fisik dan sebagian lagi dari faktor psikologis. Penyebab fisik kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus tapi karena memang proses menua. Kemunduran psikologis dapat dilihat dari sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan, dan kehidupan pada umumnya dapat menuju ke keadaan uzur, karena terjadi perubahan pada lapisan otak. Akibatnya, orang menurun secara fisik dan mental dan mungkin akan segera mati. Maka dengan berbagai masalah yang terjadi pada seseorang yang berusia lanjut akan mempengaruhi perasaan dirinya terhadap agama yang dianutnya. [27]
Perasaan biasanya didefinisikan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Berlainan dengan berpikir, maka perasaan itu bersifat subjektif. Begitu juga perasaan beragama yang bisa diartikan sebagai perasaan yang bersangkut paut dengan kepercayaan seseorang tentang adanya Yang Maha Kuasa seperti: rasa kagum akan kebesaran Tuhan, rasa syukur setelah lepas dari marabahaya dan sebagainya.[28]
Perasaan keberagamaan orang pada masa usia lanjut ini berdasrkan tanggung jawab keagamaan yang ia pegang dan ia yakini secara mendalam dan ia pahami sebagai jalan hidup. Hal ini sebagai akibat dari adanya kestabilan dalam pandangan hidup keagamaan, selanjutnya akan menimbulkan kestabilan dalam timgkah laku keagamaannya, dimana segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan secara matang, dengan penuh tanggung jawab, dan bukan karena ikut-ikutan saja.[29]
Pada usia lanjut, perasaan seseorang dalam beragama yang sangat mendalam dapat melepaskan kecemasan tentang hal-hal yang buruk yang mungkin dapat menimpa seseorag yang sudah uzur, seperti sakit yang parah atau bahkan kematian dan kehidupan setelah mati. Seperti yang telah diungkapkan oleh Moberg, “Pengertian tentang perasaan tentram dan berkurangnya rasa takut akan kematian cenderung menyertai kepercayaan dan agama yang konservatif”.[30]
2. Motivasi Keagamaan pada Dewasa lanjut
Motivasi bisa diartikan sebagai gerakan atau sesuatu yang bergerak, karena itu motif sangat lazim dikaitkan dengan gerak manusia atau disebut perbuatan atau juga tingkah laku. Motif dalam psikologi bisa diartikan sebagai rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya tingkah laku. Hasan Langgulung berpendapat bahwa motivasi ialah suatu keadaan psikologis yang memberi arahan terhadap aktivitas manusia. Motivasi itulah yang mendorong seseorang ke arah tujuan-tujuannya. Demikianlah tujuan-tujuan dan aktivitas seseorang itu berkaitan dengan motivasinya.[31]
Motivasi beragama merupakan hal yang tidak terlupakan dalam pembangunan psikologis, di mana dengan beragama seseorang merasakan spirit-spirit sebagai bagian dari kebutuhannya terhadap agama. Motivasi ini tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi lebih banyak dipegaruhi kesadaran akan pentingnya dimensi lain dalam kerohanian. Upaya penghindaran diri dari bahaya, perasaan berdosa, dan bersalah, biasanya seiring dengan hadirnya dimensi spiritualitas agama yang dianut sebagai salah satu solousi yang dapat mengatasi persoalan-persoalan diri.[32]
Salah satu motivasi keberagamaan seseorang di usia lanjut adalah sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan-ketakutan yang dihadapi di usia uzur. Apakah ketakutan dapat dianggap sebagai motivasi untuk tingkah laku keagamaan. Secara langsung ketakutan tidak dapat disebut motivasi. Namun demikian, sejauh ketakutan itu menyertai perasaan yang bersifat frustasi seperti takut kesepian dan takut akan kematian, maka secara tidak langsung ketakutan mempengaruhi dalam tingkah laku keagamaan seseorang.[33]
Maka bisa dikatakan salah satu motivasi keberagamaan pada usia lanjut cenderung untuk mencari ketentraman, kedamaian, dan ketenangan dalam menghadapi masa-masa tua dan menikmati usia yang masih tersisa, serta untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja dan kesiapan dalam mengahadapi sesuatu yang terjadi setelah kematian.[34]
Menurut Oemar Hamalik, sikap merupakan tingkat afektif yang positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologis, positif dapat diartikan senang dan negatif dapat diartikan tidak senang atau menolak. Senada dengan itu Thorstone mengatakan bahwa “sikap merupakan tingkat afeksi yang positif dan negatif yang dihubungkan dengan objek psikologis”. Sedangkan Nasution mengatakan “sikap adalah seperangkat kepercayaan yang menentukan preferensi atau kecenderungan tertentu terhadap suatu objek atau situasi”.[35]
Sikap keagaman tidak terlepas dari keberadaan agama itu sendiri. Apabila telah terpola dalam pikiran bahwa agama itu sesuatu yang benar maka apa saja yang menyangkut dengan agama akan membawa makna positif. Bila seseorang percaya bahwa agama itu sesuatu yang benar dan baik, maka timbullah perasaan suka terhadap agama. Maka dengan kemantapan jiwa seseorang yang sudah di tahap dewasa akhir atau usia lanjut akan menimbulkan sikap keagamaan sebagai berikut:
a. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang.
b. Bersikap positif terhadap ajaran agama dan berupaya untuk memahami ajaran agama.
c. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab pribadi hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari diri dan sikapnya dalam hidup.
d. Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
e. Sikap keberagamaaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami,serta melaksanakan ajaran agama yang dianutnya.[36]
Dengan demikian sikap keberagamaan seseorang yang telah lanjut usia akan cenderung kearah yang menerima setiap apa-apa yang dikatakan oleh agama atau tidak susah untuk menerima ajaran agamanya sebagai suatu kebenaran.
F. Analisis
Setiap orang memilki sikap keagamannya yang berbeda satu sama lain, karena hal tersebut bisa disebutkan sebagai suatu yang subjektif. Kita belum tentu benar menduga seseorang itu memiliki sikap keagamaan yang bagus jika hanya melihat luarnya saja, melihat tingkah laku keagamaan yang dapat diterka oleh panca indera, karena sesungguhnya sikap keagamaan seseoran itu berkaitan erat dengan jiwanya yang sudah tentu kita tidak tahu apa yang ada dalam isi hati atau perasaan dari pada orang lain.
Perkembangan jiwa keagamaan seseorang itu dimuali sejak masa anak-anak kemudian masa remaja dan dewasa. Setiap fase pertumbuahan dan perkembangan tersebut memilki sikap keagamaan yang berbeda, seperti halnya pada masa anak-anak yang masih memiliki pemikiran yang sederhana terhadap sesuatu dan tak terkecuali dalam hal agama. Pada masa anak-anak ini cenderung pada ajaran agama itu sebagai sesuatu yang dipahami sesuai keinginan si anak dan bersifat konkrit. Selanjutnya pada masa remaja di mana pemikiran seseorang sudah bisa berpikir abstrak dan memilki keinginan untuk bersikap kritis dan menerima suatu ajaran itu harus benar-benar dimengerti dan tidak menerima begitu saja suatu konsep.setelah masa remaja adalah masa dewasa, pada masa ini seseorang dituntut telah memilki kematangan dalam aspek berpikir, bertindak termasuk dalam sikap keagamaannya. Pada masa ini seseorang beragama itu karena betul memahami bahwa agama adalah suatu kebutuhan dalam hidup dan memilki kesadaran penuh dalam keagamaannya. Namun terlepas dari ciri setiap masa di atas, kesadaran atau sikap keagamaan seseorang tergantung pribadi seseorang dalam menjalankan aspek keagamaannya tersebut.
G. Kesimpulan
Salah satu aspek perkembangan yang penting peranannya dalam kehidupan manusia adalah perkembangan aspek keberagamaannya. Pada masa anak-anak konsep keagamaan masih sangat sederhana dan masih cenderung di pengaruhi oleh orang-orang di sekitar anak tersebut, hal itu sesuai dengan ciri-ciri sikap keagamaan pada masa anak yaitu egosentris, konkrit antropomorfis, tanpa kritik dan sebagainya. Ketika remaja mulai memiliki sikap kritis terhadap ajaran agama, selain itu mereka juga mulai teratarik pada masalah-masalah lain di samping masalah agama. Hal tersebut ditandai dengan sikap keagamaannya yang hanya ikut-ikutan, kebimbangan dalam keagamaannya, meski ada juga yang sudah mulai memilikin kesadaran jiwa keagamaan. Pada saat masa dewasa sikap keagamaan seseorang akan semakin matang dan memilki kesadaran mengenai aspek keagamaan yang dianutnya. Serta sikap keberagamaan seseorang di usia lanjut cenderung akan lebih mudah menerima ajaran-ajaran agama dan menjadikannya sebagai tuntunan dalam hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Adams dan Gullotta. 2013. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti, Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Marliany, Rosleny. 2010. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Purwanto, Yadi. 2011. Psikologi Kepribadian: Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islami. Bandung: PT. Refika Aditama.
Rajab, Khairunnas. 2012. Psikologi Agama. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Ramayulis. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1] Rosleny Marliany, 2010, Psikologi Umum, Bandung, Pustaka Setia, hal. 26
[2]Yadi Purwanto. 2011. Psikologi Kepribadian: Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islami., Bandung: PT. Refika Aditama, hal. 114.
[4] Ramayulis, 2016, Psikologi Agama, Jakarta, Kalam Mulia, cet. 11, hal. 41-42.
[7] Ramayulis, Ibid, hal. 57.
[11] Ramayulis, Ibid, hal. 60-61.
[14] Elizabeth B. Hurlock, 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Erlangga, Edisi Kelima, hal. 206.
[15] Ramayulis, 2016, Psikologi Agama, Jakarta, Kalam Mulia, cet. 11, hal. 66.
[17] Ramayulis, Ibid, hal. 68-69.
[19] Elizabeth, B. Hurlock, 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Erlangga, Edisi Kelima ,hal. 222.
[20] Ramayulis, 2016, Psikologi Agama, Jakarta, Kalam Mulia, cet. 11, hal.65.
[24] Ramayulis, Ibid, hal. 41-42
[27]Elizabeth, Ibid, hal.380
[30] Elizabeth B. Hurlock, 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Erlangga, Edisi Kelima, hal. 402
[34] Ramayulis, Ibid, hal. 107.
Tidak ada komentar untuk "Perkembangan Sikap Keagamaan Manusia"
Posting Komentar